Thursday, January 22, 2009

Bukti Kitab “Usul Al-Kafi “ - Kitab Paling Sahih Menurut Syi'ah

Dalam pencarian di literatur syi’ah, ternyata kita menemukan adanya pernyataan dari ulama syi’ah tentang kitab syi’ah yang seluruh isinya sahih. Lalu mana yang benar? Ada kitab sahih atau tidak ada?

Kitab yang paling sahih dalam mazhab syi’ah adalah kitab Al Kafi yang disusun oleh Al Kulaini, yang menyatakan dalam pengantar kitabnya : saya katakan kamu ingin memiliki kitab yang lengkap, berisi ajaran ilmu agama yang lengkap bagi pelajar dan dijadikan rujukan bagi mereka yang ingin mencari petunjuk, menjadi referensi bagi mereka yang ingin mencari ilmu agama dan mengamalkannya dengan riwayat yang sahih dari orang-orang jujur [pengantar Al Kafi hal 7].

Sementara itu Ali Akbar Al Ghifari, pentahqiq kitab Al Kafi menyatakan: mazhab Imamiyah sepakat bahwa seluruh isi kitab Al Kafi adalah sahih.


Sementara Abdul Husein Syarafuddin Al Musawi dalam kitab Al Muraja’at [edisi bahasa Indonesia berjudul Dialog Sunnah Syi’ah, terbitan Mizan] menegaskan: yang terbaik dari yang dibukukan adalah empat kitab yang merupakan pegangan mazhab Imamiyah dalam masalah ushul maupun furu’ sejak zaman pertama hingga masa kini, yaitu kitab Al Kafi, Tahdzib, Al Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih, semua isinya adalah mutawatir dan dipastikan status kesahihannya, dan Al Kafi adalah yang paling terdahulu, paling hebat, paling bagus [Muraja’ah no 110] Edisi Dar Shadiq Beirut.


Setelah memuji empat kitab di atas, Al Faidh Al Kasyani mengatakan: Al Kafi adalah yang paling mulia, paling hebat, paling sahih, paling sempurna dan paling lengkap. Muqaddimah Kitab Al Kafi halaman 9, padahal dia juga mengakui bahwa Al Majlisi menganggap kebanyakan riwayat yang ada dalam kitab Al Kafi adalah tidak sahih.

Sementara An Nuri At Thabrasi mengatakan: posisi Al Kafi di antara empat kitab adalah bagaikan matahari dibandingkan dengan bintang-bintang yang ada di langit, jika orang yang bersifat objektif menelaah kitab Al Kafi, maka dia tidak perlu lagi meneliti kesahihan perawi yang ada dalam kitab itu, dan akan segera percaya bahwa isi kitab itu adalah sahih dan sahih. Lihat Mustadrak Al Wasa’il jilid 3 hal 532

Al Hurr Al Amili mengatakan: kesimpulan ke enam mengenai kesahihan penulisan kitab ini dan kitab ini benar-benar ditulis oleh Al Kulaini, juga riwayat-riwayat yang ada di dalamnya adalah benar berasal dari para imam alaihimussalam. Lihat di Khatimatul Wasa’il hal 61.

Sementara Agho Barzak mengatakan : Al Kafi adalah kitab yang terbaik dari empat kitab yang dijadikan pegangan bagi mazhab syi’ah. Tidak pernah ada kitab riwayat dari keluarga Nabi yang menyamai Al Kafi. Ad Dzari’ah ila tashanifi Asy Syi’ah jilid 17 hal 245

Sementara Abbas Al Qummi menyatakan: Al Kafi adalah kitab yang terbaik dalam Islam, kitab syi’ah yang terbaik yang tidak pernah ada lagi kitab syi’ah yang seperti itu, Muhammad Amin Al Istrabadi menyatakan: kami mendengar dari para guru dan ulama kami bahwa tidak ada kitab dalam Islam yang menyamai atau mendekati Al kafi. Al Kuna wal Alqab jilid 3 hal 98.

Syaikh Muhammad Shadiq As Shadr dalam kitab Asy Syi’ah halaman 122 menyatakan : dikisahkan bahwa kitab Al Kafi ditunjukkan pada Imam Mahdi lalu beliau menyatakan: kitab ini cukup bagi syi’ah kami.

Penegasan ulama syi’ah yang kita tuliskan di atas bertolak belakang dengan ucapan syi’ah hari ini, baik ulama maupun kawan-kawan syi’ah di sekitar kita. Barangkali pembaca bingung menghadapi dua hal yang berlawanan: pernyataan tidak ada kitab riwayat syi’ah yang seluruh isinya sahih, dan pernyataan bahwa isi kitab Al Kafi dan tiga kitab lainnya adalah sahih, bahkan mutawatir. Lalu mana yang benar? Pernyataan teman-teman syi’ah hari ini atau pernyataan ulama syi’ah yang kami nukilkan di atas? Jika pembaca bingung, maka saya pun berhak untuk bingung juga.

Tetapi kebingungan kita akan hilang jika kita mau menyadari bahwa pernyataan tentang kesahihan kitab Al Kafi dan ketiga kitab lainnya muncul dari ulama syi’ah yang memiliki kredibilitas yang tidak main-main, misalnya Abdul Husein Syarafudin Al Musawi yang menulis buku yang berjudul Al Murajaat, yang terjemahnya berjudul Dialog Sunnah Syi’ah. Buku ini direkomendasikan oleh syi’ah di seluruh dunia, yang mana konon isinya adalah dialog antara Abdul Husein dan Syeikh Salim Al Bisyri, tentang mazhab syi’ah, di mana Abdul Husein menerangkan tentang mazhab syi’ah dan menepis tuduhan-tuduhan yang ada. Jika memang Abdul Husein keliru dalam pernyataannya maka sudah tentu buku Al Murajaat tidak diedarkan sedemikian banyak ke seluruh dunia dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, salah satunya adalah bahasa Indonesia. Begitu pula ulama lainnya yang merekomendasikan Al Kafi sebagai kitab yang sahih.

Tapi kita jadi ragu lagi, karena teman-teman syi’ah bakal menjawab bahwa ada ulama syi’ah yang mengevaluasi lagi kitab Al Kafi seperti Al Majlisi yang menyatakan bahwa kebanyakan riwayat yang ada dalam Al Kafi adalah tidak sahih. Dan yang meneliti kesahihan kitab Al Kafi bukan hanya Al Majlisi saja.

Jika pembaca bingung, saya sendiri ikut bingung, karena ulama syi’ah sendiri berbeda pendapat tentang kesahihan kitabnya sendiri. Artinya kesahihan kitab Al Kafi sendiri masih menjadi perdebatan. Tetapi apakah Abdul Husein tidak mengetahui kritik Al Majlisi terhadap kitab Al Kafi?


Lalu bagaimana dengan pernyataan Al Kulaini bahwa kitab Al Kafi yang ditulisnya adalah sahih dan kitabnya itu menjadi pedoman bagi syi’ah, dan diriwayatkan oleh orang-orang jujur? Sudah pasti Al Kulaini benar-benar tahu apa yang ditulisnya.

Jika beralasan ada perbedaan definisi sahih antara Kulaini dan ulama lain yang mengkritiknya, maka definisi sahih yang dianut oleh Kulaini lebih sahih karena Kulaini sendiri hidup pada masa Al Ghaibah As Sughra, yaitu masa di mana masih ada empat orang wakil yang boleh berhubungan langsung dengan imam Mahdi. Maka sangat dimungkinkan Kulaini telah “berkonsultasi” dengan imam Mahdi melalui wakilnya. Apalagi ada kisah yang telah dikutip di atas bahwa imam Mahdi sendiri telah menelaah kitab Al Kafi dan merekomendasikannya sebagai kitab rujukan bagi syi’ah. Di mana ulama syiah lainnya yang mengkritik Al Kafi sudah tidak mungkin lagi berkonsultasi dengan imam Mahdi karena mereka hidup pada era Ghaibah Kubra, yaitu masa di mana tidak ada lagi wakil yang empat bagi imam Mahdi. Sebagai perbandingan kita sebutkan di sini bahwa Al Hulli hidup pada abad ke 7 Hijriyah – sezaman dengan Ibnu Taimiyah- , juga Zainuddin Al Amili yang wafat tahun 965 Hijriyah, Apalagi Al Majlisi, Al Mamaqani dan ulama yang hidup hari ini.

Kita tinggalkan saja perbincangan mengenai kesahihan Al Kafi, mari kita melihat ke sebahagian judul bab yang ada dalamnya, dari judul bab itu kita boleh tahu sekilas isi kitab Al Kafi yang menjadi rujukan utama bagi syi’ah. Dengan mengetahui rujukan mazhab tertentu kita boleh mengetahui isi ajaran mazhab itu, maka boleh dikatakan bahwa dengan mengetahui isi kitab Al Kafi kita boleh mengetahui isi ajaran syi’ah.


Bab Wajib taat pada para imam.


Bab para imam adalah pembawa petunjuk.


Bab para imam adalah pembawa perintah Allah dan penyimpan ilmuNya.


Bab Para imam adalah cahaya Allah.


Bab para imam adalah tiang bumi.


Bab bahwa ayat yang disebutkan oleh Allah dalam kitabNya adalah para imam.


Bab bahwa ahli dzikir yang diperintahkan bagi manusia untuk bertanya pada mereka adalah para ima.


Bab bahwa orang yang diberikan ilmu yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah para imam.


Bab bahwa orang yang dalam ilmunya adalah para imam.


Bab bahwa Al Qur’an menunjukkan pada imam.


Bab para imam mewarisi ilmu Nabi Muhammad dan seluruh Nabi dan washi sebelumnya.


Bab para imam memiliki seluruh kitab suci yang diturunkan oleh Allah.

Bab tidak ada yang mengumpulkan Al Qur’an yang lengkap selain para imam, dan mereka mengetahui ilmu Al Qur’an seluruhnya.


Bab para imam memiliki mukjizat para Nabi.


Bab para imam memiliki senjata dan barang-barang peninggalan Nabi.

Bab jumlah para imam bertambah pada malam jum’at.


Bab para imam jika mereka ingin mengetahui sesuatu mereka akan mengetahuinya.


Bab bahwa para imam mengetahui kapan mereka mati, mereka hanya mati saat mereka berkehendak.


Bab para imam akan memberitahukan rahasia orang walaupun mereka tidak diberitahu.


Bab bumi dan seisinya adalah milik para imam.


Bab para imam mengetahui seluruh ilmu yang diberikan pada malaikat, Nabi dan Rasulullah Alaihissalam.


Bab Para imam mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang belum terjadi, tidak ada yang tidak mereka ketahui

Tuesday, December 9, 2008

MUKJIZAT KEPALA HUSEIN ?

KHOMEINI VS ahli sunnah.

Khomeini Tidak Bercanggah Dengan Syi’ah Zaman Lampau.

Antara kata-kata Ayatu al-Syaitan Khomeini terhadap Ahli Sunah :

"Iman seorang Syi’ah tidak sempurna, kecuali setelah berbeza (menentang) dengan Ahli Sunah...Apabila seorang Ahli sunnah bersemangat mengamalkan ibadah, maka dia telah bersemangat mengamalkan kebatilan." [Lihat: Ayatullah al-Khomeini, Al-Hukumat Al-Islamiyah, m.s. 83]

"Adapun Nawasib (Ahli Sunnah) dan Khawarij semoga dilaknati Allah tanpa ragu-ragu adalah najis." [ Lihat : Ayatullah al-Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil.1, m.s : 118 ]

"Kumpulan-kumpulan Syi`ah selain dari Syi`ah Imam Dua Belas yang tidak mempercayai imamah 12 imam, jika tidak kelihatan pada mereka tanda-tanda nasibi (mengikuti Ahli Sunnah), permusuhan dan mencela para imam maka ia suci tetapi jika kelihatan pada mereka perkara-perkara tersebut maka mereka seperti nawasib yang lain. [ Lihat : Ayatullah al-Khomeini, Tahrir al-Wasilah jil.1, m.s : 119 ]



Pandangan Syiah Zaman Lampau :

1. Manusia anak pelacur selain Syi’ah.

Mula Baqir al-Majlisi meriwayatkan Bihar al-Anwar jil. 24, m.s : 311. Riwayat ini juga dinukilkan oleh al-Kulaini dalam al-Raudhah hadis bernombor 431. Kata Syi’ah, Imam al-Baqir berkata:

"Demi Allah wahai Abu Hamzah, sesungguhnya manusia itu, kesemuanya anak pelacur melainkan Syi`ah kita."


2. Sunnah / Nasibi kafir, najis dan lebih jahat daripada Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Ni`matullah al-Jazairi menulis dalam kitabnya al-Anwar al-Nu`maniyyah jil.2, m.s : 306 :

"Penjelasan tentang al-Nasibi dan keadaannya dapat dijelaskan dengan dua perkara berikut: Pertama, maksud al-nasibi mengikut dalam hadis-hadis adalah najis, dia lebih jahat daripada Yahudi, Nasrani dan Majusi malah dia adalah kafir, najis mengikut ijmak ulama Imamiyyah."

3. Harta Sunnah halal darahnya :

Abu Ja`far al-Tusi meriwayatkan dalam Tahzib al-Ahkam, jil. 4, m.s : 122 ;
“Daripada Abu Abdullah a.s. bahawa beliau berkata: Ambillah harta al-nasib di mana sahaja kamu temui dan berikan kepada kami satu perlimanya.”

Malangnya di Malaysia kita sedang ditipu oleh sangka baik oleh sesetengah pihak terhadap Syiah dan usaha taqrib dengan Syiah oleh mereka yang tidak pernah bergelumang dengan kitab-kitab Syiah dan tidak pernah mengetahui pandangan Syiah terhadap Ahli Sunnah. Semoga kita mereka sedarkan diri mereka dari jerut kaum Dajjal ini.

Ustaz Harun Taib Bercakap Tentang Syiah

Friday, December 5, 2008

IRAN YANG MELAKUKAN SERANGAN GAS TERHADAP KURDIS DI HALABJA 1988

Amerika sendiri tidak percaya Iraq melakukannya seperti yang tersiar di akhbar Washington Post 3 May 1990. Bekas PM Britain, Tony Blair tidak percaya Saddam yang melakukannya, begitu juga dengan pegawai analisi senior CIA, Stephen C. Pelletiere (rujuk tulisan beliau di bawah), Di sana ada kajian dari seorang professor Arab yang lahir di Iraq, Mohammed al-Obaidi yang pernah disiarkan oleh media al-Jazeera satu ketika dahulu. Paling mengejutkan pihak Iran dikatakan bertanggungjawab melancarkan serangan gas berkenaan sebagai mana pendedahan-pendedahan di bawah. Pendedahan ini seharusnya membuka semuala mata para pengkaji timur tengah khususnya mengenai kejadian di Iraq dan bakal merombak fakta sejarah yang sudah terpesong. Menariknya para pengkaji telah meletak isu Halabja ini sebagai salah satu pembohongan Amerika dan Barat terhadap Iraq bagi menghalalkan serangan ke atas Negara berkenaan sama seperti kes fakta palsu isu WMD di Iraq, fakta palsu Syiah majority di Iraq, kaitan Iraq dengan al-Qaeda dan lain-lain.

Bagi mengetahui pendedahan lanjut tentang jenayah perang ini, sila ke link-link berikut :

1. How killed the Kurds in Halabja?

http://www.roadstoiraq.com/2006/08/29/how-killed-the-kurds-in-halabja/

2. PM admits graves claim 'untrue'
http://www.guardian.co.uk/politics/2004/jul/18/iraq.iraq1

3. Aziz blames Iran for Kurd gassing

http://english.aljazeera.net/news/middleeast/2007/03/2008525133832358318.html

4. What Happened in Kurdish Halabja?

http://www.globalpolicy.org/security/issues/iraq/saddam/2004/1222halabja.htm

5. Who really gassed the Kurds?

By http://www.informationclearinghouse.info/article1148.htm

6. http://tenteradajjal.blogspot.com/2008/12/peeling-away-lies.html

selanjutnya :

· DR. Ibrahim Aloush - www.albasrah.net, Did Iraq attack Halabja with chemical weapons in 1988?

· Stephen C. Pelletiere - NYTimes, A Glimpse of The Past: A War Crime or an Act of War?

· Jude Wanniski, Saddam Hussein Did Not Commit Genocide

· Carlton Meyer, Saddam never gassed his own people

· Jude Wanniski, In Defense of Saddam Hussein:

· Jude Wanniski, Defending Saddam, Not President Bush

· Jude Wanninski, What Happened at Halabja?

· Ghali Hassan, What do Fallujah and Halabja have in Common?

· Robin Miller - Media Monitors Network, Claims of Saddam's Genocide Far from Proven

· Raju Thomas- Times of India, Report Suppressed: Iran Gassed Kurds, Not Iraq

· Xymphora, More on Jeffrey Goldberg

· Jude Wanniski, A Fair Trial for Saddam?

· in italiano

· Sanjay Suri, Saddam può chiamare la CIA in sua difesa:

· Ghali Hassan, Che cosa hanno in comune Fallujah e Halabja?

· Ibrahim 'Allush - Aljazira.it, L'Iraq ha veramente attaccato i curdi a Halabja nel 1988?

Ulasan penulis :

Kadang2 sering berlegar-legar di kepala saya mengapa Saddam yang dikatakan zalim itu mati dengan lafaz kalimah syahadah.. dan menyeru supaya menentang kaum Parsi sehingga saat ditali gantung… Apakah tulisan-tulisan ini membuktikan beliau tidak sezalim yang pernah disangkakan oleh sebahagian dari kita semua dahulu.


Hakikatnya, Iraq jika dibandingkan pemerintahan Saddam dan sekarang seperti kata Jalal Talebani, presiden Iraq berbangsa Kurdis, “Iraq lebih aman semasa pemerintahan Saddam berbanding pemerintahan sekarang”.. Laporan akhbar juga telah membuktikan serangan membunuh boleh berlaku di mana-mana sahaja di Iraq hari ini hasil pertembungan Syiah dan Sunnah.


Dengan kesucian aqidah Sunnah yang beliau anuti, semoga Allah SWT mengampunkan dosa-dosa beliau yang lalu.


tenteradajjal.blogspot.com

Sunday, November 16, 2008

Ayat al-Tath-hir

(AYAT YG DIGUNAKAN SBG HUJAH SYIAH DALAM MEMA’SUMKAN AHL BAIT)
JAWAPAN AHL AL-SUNNAH
Memandangkan dakwaan dan hujah Syi‘ah ke atas Ayat al-Tath-hir agak panjang lagi mendalam, penulis akan membahagikan analisa dan jawapan ke atasnya kepada lima perbahasan:
1. Adakah ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman?
2. Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?
3. Darjat dan maksud Hadis al-Kisa’.
4. Darjat dan maksud Hadis seruan bersolat Subuh.
5. Darjat dan maksud Hadis Abu Sa‘id al-Khudri.
Pertama: Adakah ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman?
Jawapannya tidak. Para pembaca dijemput memerhatikan semula ayat 33 surah al-Ahzab:
Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzab 33:33][3]
Perhatikan bahawa Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan perkataan Yuridu (يريد) yang bererti “kehendak” atau “keinginan” atau “bermaksud”. Kemudian perkataan Yuzhiba (يذهب) didahului dengan huruf Lam (ل) yang bererti “untuk” atau “supaya”. Justeru firman Allah:(إنما يريد الله ليذهب) hanyalah menerangkan “kehendak” Allah “untuk” menghilangkan dosa para Ahl al-Bait.
Seandainya Allah ingin menetapkan sifat maksum (bebas dari dosa dan suci), Allah akan berfirman dengan sesuatu yang bersifat menetapkan, umpama:
“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan telah membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Oleh itu Syi‘ah telah melakukan satu kesalahan yang amat besar lagi fatal apabila mereka mendakwa ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman. Yang benar ayat 33 surah al-Azhab tidak membicara subjek kemaksumam, jauh sekali daripada berperanan menetapkan sifat maksum kepada sesiapa, sama ada kepada para isteri Rasulullah atau kepada 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.[4]

Timbul soalan seterusnya, apakah maksud sebenar firman Allah dalam ayat 33 surah al-Ahzab? Jawapannya akan diperolehi dalam perbahasan kedua seterus ini. Sebelum itu untuk memantapkan fahaman para pembaca, berikut dikemukakan contoh sebuah ayat yang juga menggunakan perkataan (يريد) dan (التطهير). Ia adalah ayat berkenaan perintah wudhu’, firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sembahyang (padahal kamu berhadas kecil), maka (berwuduklah) iaitu basuhlah muka kamu, dan kedua belah tangan kamu meliputi siku, dan sapulah sebahagian dari kepala kamu, dan basuhlah kedua belah kaki kamu meliputi buku lali; dan jika kamu junub (berhadas besar) maka bersucilah dengan mandi wajib; dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam pelayaran, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk dan mandi), maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah - debu yang bersih, iaitu: sapulah muka kamu dan kedua belah tangan kamu dengan tanah - debu itu.
Allah tidak mahu menjadikan kamu menanggung sesuatu kesusahan (kepayahan), tetapi berkehendak untuk membersihkan (طهر) kamu dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya kepada kamu, supaya kamu bersyukur. [al-Maidah 5:06]
Perhatikan perenggan kedua ayat di atas. Seandainya Syi‘ah menafsirkan ayat 33 surah al-Ahzab sebagai menetapkan sifat maksum kepada Ahl al-Bait, maka dengan itu juga setiap orang beriman yang berwudhu’ akan memiliki sifat maksum juga. Ini kerana kedua-dua ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat kelima surah al-Maidah mengunakan istilah Tahara (طهر) yang bermaksud “bersih” atau “suci”.
Di sisi Ahl al-Sunnah, kedua-dua ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat kelima surah al-Maidah tidak membicarakan sifat maksum mahupun menetapkan sifat maksum kepada orang yang dirujuk olehnya. Perhatikan, sebagaimana ayat 33 surah al-Ahzab, ayat di atas juga menggunakan perkataan Yuridu dan tambahan huruf Lam: …tetapi (Allah) berkehendak (يريد) untuk membersihkan (ل + يطهر = ليطهر) kamu dan…
Berdasarkan penggunaan perkataan Yuridu (يريد) dan tambahan huruf Lam (ل), maka ayat kelima surah al-Maidah ini tidak berperanan menetapkan sifat maksum kepada setiap orang beriman yang berwudhu’. Demikianlah juga bagi ayat 33 surah al-Ahzab, ia tidak berperanan menetapkan sifat maksum kepada Ahl al-Bait.
Jawapan

Kedua: Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?
Jawapannya akan diperolehi dengan mengkaji keseluruhan konteks perbincangan ayat dari mula hingga akhir. Ia bermula dengan ayat 28 surah al-Ahzab:
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: Sekiranya kamu semua mahukan kehidupan dunia (yang mewah) dan perhiasannya (yang indah), maka marilah supaya aku berikan kepada kamu pemberian mut'ah (sagu hati), dan aku lepaskan kamu dengan cara yang sebaik-baiknya. [al-Ahzab 33:28]

Dan sekiranya kamu semua mahukan (keredaan) Allah dan Rasul-Nya serta (nikmat kemewahan) di Negeri Akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kamu: pahala yang besar. [al-Ahzab 33:29]
Wahai isteri-isteri Nabi, sesiapa di antara kamu yang melakukan sesuatu perbuatan keji yang nyata, nescaya akan digandakan azab seksa baginya dua kali ganda. Dan (hukuman) yang demikian itu adalah mudah bagi Allah melaksanakannya. [al-Ahzab 33:30]
Dan sesiapa di antara kamu semua tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengerjakan amal yang salih, Kami akan beri kepadanya pahala amalnya itu dua kali ganda, dan Kami sediakan baginya limpah kurnia yang mulia. [al-Ahzab 33:31]
Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan yang lain kalau kamu tetap bertaqwa. Oleh itu janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki asing) kerana yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik (sesuai dan sopan). [al-Ahzab 33:32]
Dan hendaklah kamu tetap di rumah kamu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu; dan dirikanlah solat, tunaikanlah zakat; dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya.
Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzab 33:33][5]
Dan ingatlah (serta amalkanlah) apa yang dibaca di rumah kamu dari ayat-ayat Allah (Al-Quran) dan hikmah pengetahuan (hadis-hadis Rasulullah). Sesungguhnya Allah Maha Halus Tadbir-Nya, lagi Maha Mendalam pengetahuanNya. [al-Ahzab 33:34]
Jelas daripada ayat-ayat di atas bahawa yang menjadi konteks perbincangan ialah tunjuk ajar serta perintah dan larangan Allah ‘Azza wa Jalla kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Firman Allah dalam ayat 33 ……
Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya…… bukan suatu ayat yang terpisah daripada rangkaian ayat 28 hingga 34. Akan tetapi ia termasuk sebahagian daripada ayat-ayat tersebut. Ia berperanan menerangkan tujuan atau hasil yang ingin dikurniakan oleh Allah kepada para isteri Rasulullah dengan segala tunjuk ajar, perintah dan larangan tersebut.
Oleh itu perkataan Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab tetap merujuk kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Jika ditafsirkan ayat 33 ini merujuk kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, ia bererti ‘Ali, Hasan dan Husain diperintahkan untuk tetap berada di dalam rumah. Seterusnya mereka dilarang berhias (tabarruj) apabila berada di luar rumah. Ini adalah tafsiran yang menjauhi fakta yang benar dan pemikiran yang sihat kerana sedia diketahui bahawa ‘Ali, Hasan dan Husain sentiasa bergiat aktif di luar rumah dalam ekspedisi dakwah dan jihad. Lebih dari itu mereka terdiri daripada kaum lelaki yang tidak berhias sebagaimana kaum wanita. Justeru tidak mungkin menafsirkan perkataan Ahl al-Bait dalam ayat di atas sebagai merujuk kepada 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
Adapun beberapa petunjuk daripada al-Qur’an yang dikemukakan oleh Syi‘ah sebagai bukti bahawa ayat 33 surah al-Ahzab hanya merujuk kepada 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum, ia dapat dijawab dengan mudah seperti berikut:
Jawapan Kepada Petunjuk Pertama:
Istilah Ahl al-Bait tidaklah mutlak merujuk kepada keluarga yang memiliki ikatan nasab sahaja. Ia juga merujuk kepada keluarga yang memiliki ikatan pernikahan. Berikut adalah satu contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan istilah Ahl al-Bait ketika merujuk kepada isteri Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.

Isteri (Nabi Ibrahim) berkata: Sungguh ajaib keadaanku! Adakah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua dan suamiku ini juga sudah tua? Sesungguhnya kejadian ini suatu perkara yang menghairankan.

Malaikat-malaikat itu berkata: Patutkah engkau merasa hairan tentang perkara yang telah ditetapkan oleh Allah? Memanglah rahmat Allah dan berkat-Nya melimpah-limpah kepada kamu, wahai Ahl al-Bait. Sesungguhnya Allah Maha terpuji, lagi Maha Melimpah kebaikan dan kemurahanNya. [Hud 11:72-73]

Jawapan Kepada Petunjuk Kedua:
Ayat 33 surah al-Ahzab yang bersifat maskulin (muzakkar) bukan kerana ia mengecualikan para isteri Rasulullah tetapi kerana ia merujuk kepada perkataan Ahl (أهل) yang sememangnya bersifat maskulin. Dalam kaedah bahasa Arab:
1. Apabila istilah Ahl bersifat maskulin, maka seluruh ayat akan bersifat maskulin juga sekalipun yang dibicarakan ialah berkenaan kaum wanita.
2. Ayat yang bersifat maskulin tidak mengecualikan kaum wanita kerana lafaz mazkulin boleh mewakili kedua-dua lelaki dan wanita.[6]
Kedua-dua poin di atas merupakan kaedah yang amat asas dalam ilmu bahasa Arab. Hal ini mendapat perhatian Wan Zahidi Wan Teh di dalam tulisannya: Ahlul Bait Menurut Pandangan Sunnah dan Syi‘ah sehingga beliau mengulas:[7]
Hujah ini sebenarnya menunjukkan kejahilan mereka (Syi‘ah) dalam bahasa Arab kerana kebanyakan mereka daripada bangsa Parsi tidak memahami bahasa Arab secara mendalam.
Jawapan Kepada Petunjuk Ketiga:
Syi‘ah menggunakan teguran Allah kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum dalam ayat 4 surah al-Tahrim sebagai hujah bahawa mereka (para isteri) tidak termasuk dalam ciri-ciri kemaksuman yang ditetapkan dalam ayat 33 surah al-Ahzab. Hujah ini tertolak dengan dua sebab:

1. Teguran Allah kepada para isteri Rasulullah bukanlah untuk merendahkan mereka tetapi kerana ingin memelihara mereka daripada sifat-sifat yang tidak baik. Para isteri Rasulullah radhiallahu ‘anhum adalah ibu kepada umat Islam seluruhnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Nabi itu lebih menolong dan lebih menjaga kebaikan orang-orang yang beriman daripada diri mereka sendiri; dan isteri-isterinya adalah menjadi ibu mereka. [al-Ahzab 33:06]
Sebagai “ibu” umat Islam, para isteri Rasulullah menjadi teladan kepada para isteri orang beriman seluruhnya. Justeru apabila Allah menegur dan memberi tunjuk ajar, ia bukanlah kerana keburukan yang ada pada para isteri Rasulullah tetapi kerana Allah ingin menjadikan mereka sumber teladan atau rujukan kepada para isteri umat Islam seluruhnya.
2. Ayat 33 surah al-Ahzab tidak menetapkan sifat maksum kepada sesiapa, sama ada kepada para isteri Rasulullah mahupun 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Oleh itu sia-sia sahaja penghujahan Syi‘ah ini.

Demikianlah jawapan Ahl al-Sunnah kepada petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang dikemukakan oleh Syi‘ah untuk mengecualikan para isteri Rasulullah daripada istilah Ahl al-Bait. Kembali kita kepada persoalan asal yang sedang dibahas: Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?
Jawapannya: Istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sahaja radhiallahu ‘anhum.
Jawapan

Ketiga: Darjat dan maksud Hadis al-Kisa’.
Umm Salamah radhiallahu ‘anha berkata:
Diturunkan ayat ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya [al-Ahzab 33:33] di dalam rumah Umm Salamah.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain dan menyelimuti mereka dengan kain (Kisa’) manakala ‘Ali berada di belakangnya, lalu diselimuti juga dengan kain.
Kemudian Nabi berdoa: “Ya Allah ! mereka adalah Ahl al-Bait aku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya.”
Berkata Umm Salamah: “Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?” Rasulullah menjawab: “Engkau tetap pada kedudukan engkau dan engkau selalu dalam kebaikan.”
Perbicaraan ke atas apa-apa hadis tidak memiliki nilai melainkan didahului dengan darjat kekuatannya. Oleh itu kita mulakan dengan membahas darjat kekuatan Hadis al-Kisa’.
Darjat Hadis al-Kisa’.
Hadis al-Kisa’ memiliki darjat yang sahih. Ia dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah, Ahmad, al-Tirmizi, al-Bazzar, Ibn Jarir al-Thabari, Ibn Hibban, Ibn Abi Hatim, al-Hakim, al-Thabarani, al-Baihaqi dan al-Hafiz al-Haskani, di atas dengan lafaz al-Tirmizi dan dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan al-Tirmizi – no: 3787 (Kitab Manaqib, Bab Manaqib Ahl Bait Nabi). Juga dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya– no: 2424 dan lain-lain daripada ‘A‘isyah (عائشة) radhiallahu 'anha tanpa disertai oleh pertanyaan Umm Salamah.

Maksud Hadis al-Kisa’.
Merupakan satu keajaiban bagaimana Hadis al-Kisa’ boleh dijadikan hujah oleh Syi‘ah padahal ia adalah sebaik-baik dalil bagi menolak dakwaan mereka bahawa ayat 33 surah al-Ahzab turun untuk ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum.
Ini kerana seandainya ayat 33 tersebut pada asalnya ditujukan kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, tidak perlu lagi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyelimuti mereka berempat dan mendoakan mereka. Namun Rasulullah berbuat yang sebaliknya, menunjukkan bahawa baginda mengetahui bahawa ayat 33 tersebut pada asalnya ditujukan kepada para isteri baginda. Lalu baginda mengingini agar ia mencakupi juga ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Maka kerana itulah baginda berdoa agar mereka turut serta.[8]
Perlu diingatkan bahawa Rasulullah dengan bimbingan wahyu yang diperolehinya tidak sekali-kali melakukan perkara yang sia-sia. Sungguh amat jauh daripada akal yang lurus dan logik yang sihat jika Rasulullah mendoakan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dengan lafaz doa yang berasal dari ayat yang ditujukan kepada mereka berempat – melainkan – ayat tersebut sememangnya tidak ditujukan kepada mereka berempat lalu Rasulullah berdoa dengannya agar mereka berempat termasuk sama.
Adapun pertanyaan Umm Salamah: “Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?”, maka ia memiliki dua sebab tanpa yang ketiga:
1. Di saat tersebut Umm Salamah tidak tahu berkenaan ayat 33 surah al-Ahzab kerana ia baru sahaja diturunkan dan Rasulullah belum membacakannya kepada beliau. Maka Umm Salamah bertanya dalam suasana beliau tidak mengetahui keberadaan ayat 33 tersebut.
2. Jawapan Rasulullah: Engkau tetap pada kedudukan engkau dan engkau selalu dalam kebaikan bukanlah mengecualikan Umm Salamah daripada ayat 33 surah al-Ahzab tetapi daripada doa baginda kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bahkan di dalam jawapan Rasulullah sendiri terkandung petunjuk bahawa baginda mengetahui Umm Salamah terdiri daripada orang yang ditujukan oleh ayat 33 surah al-Ahzab.
Dalam sebahagian kecil lafaz yang lain dari hadis yang sama, disebut bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada mulanya berdoa: “Ya Allah! Mereka adalah Ahl al-Bait aku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya” kemudian barulah turun ayat 33 surah al-Ahzab. Perbezaan lafaz ini tidak membawa apa-apa kesan positif kepada penghujahan Syi‘ah kerana:

1. Riwayat yang lebih terpelihara menerangkan bahawa ayat 33 surah al-Ahzab turun dahulu kemudian diikuti dengan doa Rasulullah.
2. Sekalipun Rasulullah sememangnya berdoa sebelum turunnya ayat, ia tetap tidak memiliki apa-apa perbezaan kerana ayat 33 surah al-Ahzab yang turun tidak bersifat menetapkan apa yang didoakan oleh baginda.

3. Doa Rasulullah hanyalah merupakan satu doa dan tidak lebih dari itu. Baginda mengharapkan agar ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dibersihkan daripada dosa dan disucikan. Paling tinggi doa tersebut mengharapkan supaya mereka berempat menjadi golongan bertaqwa yang dihilangkan dosa dan disucikan dengan sesuci-sucinya. Doa baginda tidak menetapkan sifat maksum kepada mereka berempat.[9]

Justeru tidak ada beza sama sekali sama ada Rasulullah berdoa sebelum atau selepas turunnya ayat 33 surah al-Ahzab kerana ia (ayat tersebut) dan doa baginda tetap tidak bersifat menghapuskan dosa dan menyucikan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, jauh sekali daripada menetapkan sifat maksum kepada mereka berempat, radhiallahu ‘anhum.
Timbul soalan seterusnya: Adakah doa Rasulullah dalam Hadis al-Kisa’ dimakbulkan oleh Allah sehingga ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain menjadi manusia yang maksum sebagaimana dakwa Syi‘ah?
Jawapannya tidak. Hal ini dibuktikan oleh sejarah di mana ‘Ali, Hasan dan Husain telah berijtihad sebagai manusia biasa dalam menghadapi pelbagai cabaran dan krisis pada zaman kehidupan mereka. Sebahagian daripada ijtihad mereka benar dan sebahagian lagi salah sehingga akhirnya mereka gugur syahid dan mendapat darjat yang mulia di sisi Allah.
Jawapan

Keempat: Darjat dan maksud Hadis Seruan Bersolat Subuh.
Daripada Anas bin Malik (radhiallahu ‘anh), bahawasanya Rasulullah sallallau ‘alaihi wasallam melintas di hadapan pintu (rumah) Fathimah radhiallahu ‘anha selama enam bulan apabila keluar untuk pergi bersolat Subuh. Baginda akan bersabda:
“Bersolatlah wahai Ahl al-Bait (kemudian membaca ayat 33 surah al-Ahzab): Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Darjat Hadis Seruan Bersolat Subuh
Sekalipun hadis ini tercatit di dalam banyak rujukan, ia tidak memiliki darjat yang sahih. Yang benar sanadnya berdarjat dha‘if sekalipun dengan tiga jalan periwayatan yang dimilikinya:

Jalan Periwayatan Pertama:
Dikeluarkan oleh al-Thayalisi (الطيالسي) di dalam al-Musnad – no: 2059 (Kitab isnad Anas bin Malik al-Anshori, Bab ‘Ali bin Ziyad bin Jud‘an), Ibn Abi Syaibah di dalam al-Musannaf – no: 32262 (Kitab Keutamaan, Bab apa yang disebut berkenaan keutamaan Fathimah), ‘Abd bin Humaid (عبد بن حميد) di dalam al-Musnad – no: 1223 (Musnad Anas bin Malik), Ahmad di dalam al-Musnad – no: 13728 & no: 14040 (Musnad Anas bin Malik), al-Tirmizi di dalam al-Sunan – no: 3206 (Kitab tafsir, Bab tafsir surah al-Ahzab), Abu Ya’la di dalam al-Musnad – no: 3978 (Musnad Anas bin Malik), Ibn Jarir al-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan – no: 21729 (tafsir ayat 33 surah al-Ahzab), al-Thahawi di dalam Musykil al-Atsar – no: 784 (Bab penjelasan daripada Rasulullah berkenaan maksud ayat 33 surah al-Ahzab), al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, ms. 56, no: 2671 & jld. 22, ms. 402, no: 1002, al-Hakim di dalam al-Mustadrak – no: 4748 (Kitab Ma’rifah para sahabat, Bab manaqib keluarga Rasulullah) dan al-Hafiz al-Haskani di dalam Syawahid al-Tanzil li Qawa‘id al-Tafdhil – no: 637, 638, 639, 640, 641, 643, 644 & 773 (Asbab al-Nuzul no: 130).
Semuanya dengan sanad yang berpangkal kepada ‘Ali bin Ziyad bin Jud‘an, daripada Anas bin Malik. ‘Ali bin Ziyad bin Jud‘an Abu al-Hasan al-Quraisy, berkata Ahmad bin Hanbal: Tidaklah dia kuat dan orang ramai meriwayatkan daripadanya. Berkata Yahya bin Ma‘in dan Abu Zar‘ah: Tidak boleh dijadikan hujah. Berkata Abi Hatim al-Razi: Tidaklah dia kuat, ditulis hadisnya dan tidak boleh dijadikan hujah.[10]

Jalan Periwayatan Kedua:
Dikeluarkan oleh ‘Abd bin Humaid di dalam al-Musnad – no: 475 (Bab Abu al-Hamra’ maula Nabi), Ibn Jarir al-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan – no: 21731 (tafsir ayat 33 surah al-Ahzab), al-Thahawi di dalam Musykil al-Atsar – no: 785 (Bab penjelasan daripada Rasulullah berkenaan maksud ayat 33 surah al-Ahzab), al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, ms. 56, no: 2672 & jld. 22, ms. 200, no: 525, al-Tsa’labi di dalam al-Kasyf wa al-Bayan, jld. 8, ms. 44 (tafsir ayat 33 surah al-Ahzab) dan al-Hafiz al-Haskani di dalam Syawahid al-Tanzil – no: 694, 695, 696, 697, 698, 699, 701, 702, 703, 766, 771 & 772 (Asbab al-Nuzul no: 130).
Semuanya dengan sanad yang berpangkal kepada Abu Daud, dia berkata aku mendengar Abi al-Hamra’ radhiallahu ‘anh, dia berkata: Aku melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam datang ke pintu (rumah) Fathimah selama 6 bulan lalu baginda bersabda (dengan membaca ayat 33 surah al-Ahzab): Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Demikian mengikut lafaz al-Thabarani.
Abi al-Hamra’, beliau ialah salah seorang budak kerja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Daud, nama sebenarnya ialah Nafi’ bin al-Harits al-Hamdani al-A’mi daripada Kufah, demikian terang Abu Ja’far al-Thahawi dan al-Hafiz al-Haskani. Beliau ditinggalkan hadisnya (matruk) manakala didustakan oleh Yahya bin Ma‘in.[11]
Jalan Periwayatan Ketiga:
Dikeluarkan oleh al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Ausath – no: 8127 (Bab yang bernama Musa), al-Tsa’labi di dalam al-Kasyf wa al-Bayan, jld. 8, ms. 42 (tafsir ayat 33 surah al-Ahzab) dan al-Hafiz al-Haskani di dalam Syawahid al-Tanzil – no: 665, 666, 667 & 668 (Asbab al-Nuzul no: 130).

Semuanya dengan sanad yang berpangkal kepada ‘Athiyah, daripada Abu Sa‘id al-Khudri radhiallahu ‘anh, bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke pintu (rumah) ‘Ali selama 40 pagi dengan mengucapkan salam: Assalamu‘alaikum Ahl al-Bait waRahmatullahi waBarakatuh, bersolatlah semoga dirahmati Allah (kemudian baginda membaca ayat 33 surah al-Ahzab): Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
‘Athiyah, beliau ialah ‘Athiyah bin Sa‘ad Abu al-Hasan al-‘Aufiy, seorang Syi‘ah daripada Kufah. Beliau dihukum dha‘if oleh Hisyam, Yahya bin Sa‘id al-Qathan, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Tsauri, Abu Zar‘ah al-Razi, Ibn Ma‘in, Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i, al-Jauzajani, Ibn ‘Adiy, Abu Daud, Ibn Hibban, al-Daruquthni dan lain-lain lagi. Selain itu beliau masyhur dengan sifat tadlis yang amat buruk.[12]

Demikianlah takhrij hadis atau semakan hadis berdasarkan sumbernya yang asal. Ia memiliki tiga jalan periwayatan dengan yang pertama memiliki kecacatan yang sederhana. Akan tetapi jalan yang kedua dan ketiga memiliki kecacatan yang berat sehingga tidak boleh dijadikan penguat untuk jalan periwayatan yang pertama. Justeru darjat sanad hadis ini adalah dha‘if.
Maksud Hadis Seruan Bersolat Subuh
Jika sebelum ini kita telah saksikan keajaiban Syi‘ah menggunakan Hadis al-Kisa’ sebagai hujah, kini kita akan saksikan keajaiban kedua pula. Ini kerana, sebagaimana Hadis al-Kisa’, Hadis Seruan Bersolat Subuh juga adalah sebaik-baik dalil bagi menolak dakwaan Syi‘ah bahawa ayat 33 surah al-Ahzab turun untuk ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum. Bahkan ia juga menjadi dalil bahawa ayat 33 tersebut tidak menetapkan sifat maksum kepada mereka berempat. Sebabnya:
1. Istilah Ahl al-Bait, sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini dalam Perbahasan Kedua, boleh merujuk kepada keluarga ikatan pernikahan atau keluarga ikatan nasab. Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berdiri di hadapan pintu rumah ‘A‘isyah (عائشة) radhiallahu ‘anha dan memanggil beliau dengan gelaran Ahl al-Bait:
……maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke bilik (rumah)[13] ‘A’isyah dan bersabda: “Assalamu‘alaikum Ahl al-Bait waRahmatullah!” ‘A’isyah menjawab: “Wa ‘alaika salam waRahmatullah!”……[14]

Oleh itu tindakan Rasulullah menyeru ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dengan gelaran Ahl al-Bait bukanlah kerana mereka telah dikhususkan oleh ayat 33 surah al-Ahzab tetapi kerana mereka pada asalnya tergolong di dalam keumuman istilah Ahl al-Bait.
2. Penggunaan ayat 33 surah al-Ahzab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kerana keinginan baginda agar ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum tergolong sama dalam tujuan ayat, iaitu agar dihapuskan dosa dan dibersihkan daripada pengaruhnya. Maka kerana itu baginda mendahuluinya dengan perintah untuk bangun menunaikan solat Subuh. Sama-sama kita ketahui daripada beberapa hadis sahih yang lain bahawa satu solat fardhu ke solat fardhu yang lain menghapuskan dosa di antaranya dan membersihkan pengamalnya daripada pengaruh dosa umpama seorang yang mandi lima kali sehari.
3. Hadis di atas membatalkan dakwaan Syi‘ah bahawa ayat 33 surah al-Ahzab menetapkan sifat maksum kepada 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum. Sebabnya, adalah mustahil seorang yang dinobatkan sifat maksum, khalifah umat dan sumber rujukan syari‘at tidak dapat bangun pagi dengan sendirinya untuk menunaikan solat Subuh selama beberapa bulan berturut-turut.
4. Di sisi Ahl al-Sunnah, hadis ini menunjukkan bahawa ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah manusia biasa yang terkadang lewat untuk bangun menunaikan solat Subuh, berbeza dengan Muhammad sebagai seorang Rasul Allah yang maksum, khalifah umat dan sumber rujukan syari‘at, baginda sentiasa dalam keadaan bersiap sedia untuk menunaikan solat Subuh.
Kesimpulannya, Hadis Seruan Bersolat Subuh dari sudut darjat, ia memiliki sanad yang dha‘if manakala dari sudut maksud, ia membelakangi bahkan membatalkan hujah yang cuba ditegakkan oleh Syi‘ah daripadanya.

Jawapan

Kelima: Darjat dan maksud Hadis Abu Sa‘id al-Khudri.
Diriwayatkan daripada Abu Sa‘id al-Khudri radhiallahu ‘anhum bahawa beliau berkata:
Diturunkan ayat ini kepada lima orang: “Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya” , iaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain (radhiallahu ‘anhum).
Darjat Hadis Abu Sa‘id al-Khudri.
Hadis ini dikeluarkan oleh al-Bazzar sebagaimana takhrij al-Haitsami di dalam Majma’ al-Zawa‘id – no: 14976 (Kitab Manaqib, Bab ke 14) (Lihat Musnad al-Bazaar – no: 2611 sebagaimana di catitan notakaki), Ibn Jarir al-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan – no: 21727, al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Shagheir, jld. 1, ms. 135 (Bab al-Ha’, yang bernama al-Hasan), al-Mu’jam al-Ausath – no: 3456 (Bab yang bernama al-Hasan) & al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, ms. 56, no: 2673 dan al-Hafiz al-Haskani di dalam Syawahid al-Tanzil – no: 660, 661, 662, 663, 664, 767, 769, 770 & 774 (Asbab al-Nuzul no: 130). Ibn Abi Hatim menyebutnya di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim Musnadan ‘an Rasulullah wa al-Shahabah wa al-Tabi‘in – no: 17673 dari Abu Sa‘id tanpa sanad.
Di atas dengan lafaz al-Thabarani di dalam al-Kabir. Diperselisihkan riwayat ini sama ada marfu’ (sabda Rasulullah) atau mauquf (kata-kata Abu Sa‘id sendiri). Namun hal ini tidak menjadi masalah kerana semua jalan periwayatan di atas berpangkal kepada ‘Athiyah, daripada Abu Sa‘id al-Khudri. ‘Athiyah, beliau ialah ‘Athiyah bin Sa‘ad Abu al-Hasan al-‘Aufiy, seorang Syi‘ah daripada Kufah. Beliau dihukum dha‘if oleh Hisyam, Yahya bin Sa‘id al-Qathan, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Tsauri, Abu Zar‘ah al-Razi, Ibn Ma‘in, Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i, al-Jauzajani, Ibn ‘Adiy, Abu Daud, Ibn Hibban, al-Daruquthni dan lain-lain lagi. Selain itu beliau masyhur dengan sifat tadlis yang amat buruk.[15]
Berdasarkan kecacatan di atas, hadis ini ditolak bukan sahaja kerana kedha‘ifan dan sifat tadlis ‘Athiyah, tetapi juga kerana di sisi disiplin hadis Ahl al-Sunnah, riwayat yang dibawa oleh seorang Syi‘ah demi kepentingan mazhabnya adalah tertolak.
al-Hafiz al-Haskani mengeluarkan riwayat yang seumpama daripada Ibn ‘Abbas (no: 700) dan Umm Salamah (no: 756) tetapi dengan sanad yang tidak penulis temui status al-Jarh wa al-Ta’dil bagi para perawinya.

Maksud Hadis Abu Sa‘id al-Khudri.
Hadis ini memiliki maksud yang tertolak. Ini kerana apabila ia memasukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam cakupan ayat 33 surah al-Ahzab, ia bererti Rasulullah sendiri pada asalnya merupakan seorang yang berdosa dan tercemar dengan kotorannya. Ini jelas ditolak oleh iktikad yang tulen, nas yang sahih dan pengetahuan yang benar.
Alhamdulillah, selesailah perbahasan kita dalam menjawab dan menolak hujah-hujah Syi‘ah ke atas Ayat al-Tath-hir. Terbuktikan bahawa semua penghujahan Syi‘ah tidak ada yang benar. Bahkan sebahagian “petunjuk” yang mereka gunakan sebagai penguat hujah sebenarnya bertindak untuk membatalkan hujah itu sendiri. Insya-Allah seterusnya kita beralih kepada ayat yang kedua terpenting dalam Mazhab Syi‘ah, iaitu Ayat al-Wilayah.
Kesimpulan mudah kepada para pembaca:
Ayat 33 surah al-Ahzab diturunkan kepada para isteri Rasulullah dalam rangka menyuruh mereka berusaha menghindari dosa dan menyucikan diri daripada pengaruhnya.
Sekalipun ayat 33 surah al-Ahzab mencakupi ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, ia tetap tidak memberi mereka status maksum untuk dinobatkan sebagai khalifah umat Islam dan sumber rujukan syari‘at selepas kewafatan Rasulullah.
Istilah “Ahl al-Bait” boleh merujuk kepada keluarga berdasarkan ikatan pernikahan dan nasab.

Kedua: Ayat al-Wilayah
[1] Terjemahan daripada al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah & Penafsir al-Qur’an, Indonesia.
[2] Nukilan berpisah daripada Limaza Akhtartu Mazhab al-Syi‘ah (Muassasah al-‘Alami, Beirut, tp.thn.), ms. 66.
[3] Terjemahan daripada al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah & Penafsir al-Qur’an, Indonesia.
[4] Ibn Taimiyyah - Minhaj al-Sunnah, jld. 4, ms. 21 (bagi edisi lama rujuk jld. 2, ms. 117).
[5] Terjemahan daripada al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah & Penafsir al-Qur’an, Indonesia.
[6] Lebih lanjut lihat:
1. Muhammad al-Amin al-Syanqithi – Adwa’ al-Bayan fi Aydhoh al-Qur’an bi al-Qur’an, jld. 6, ms. 379.
2. Muhammad al-Amin bin ‘Abd Allah al-Uramiyyi – Tafsir Hadaiq al-Rahw wa al-Raihan
(حدائق الروح والريحان) fi Rawabiy ‘Ulum al-Qur’an (Dar Thuq al-Najah, Beirut 2001), jld. 23, ms. 17.
3. Wan Zahidi Wan Teh – Ahlul Bait Menurut Pandangan Sunnah dan Syi‘ah (kertas kerja seminar Syi‘ah Imamiyah Mazhab Ke 5?; Nur Publications, Kajang 1996), ms. 59-60.
[7] Ahlul Bait Menurut Pandangan Sunnah dan Syi‘ah, ms. 59.
[8] Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi (671H) – Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jld. 14, ms. 135 (tafsir bagi ayat 34 surah al-Ahzab).
[9] Ibn Taimiyyah – Minhaj al-Sunnah, jld. 4, ms. 16. (jld. 2, ms. 116)
[10] Ibn Abi Hatim al-Razi – al-Jarh wa al-Ta’dil, jld. 6, ms. 186, biografi no: 1021.
[11] Ibn Hajar al-‘Asqalani – Taqrib al-Tahzib – biografi no: 7207
[12] al-‘Uqaili – al-Dhu‘afa’ al-Kabir – biografi no: 1392; Ibn Hajar al-‘Asqalani – Thabaqat al-Mudallisin – biografi no: 122 dan Syu‘aib al-Arna’uth (الأرنؤوط) & Basyar ‘Awwad Ma’ruf – Tahrir Taqrib al-Tahzib, biografi no: 4616.
Tadlis bermaksud menyembunyikan nama perawi sebenar yang diambil hadis daripadanya. Ini dilakukan atas beberapa sebab, yang masyhur ialah menutup kelemahan dan kecacatan yang terdapat pada perawi yang disembunyikan itu supaya hadis yang dibawanya tidak menjadi lemah atau tertolak.
[13] Disebut rumah ‘A‘isyah sebagai “bilik” kerana di saat itu rumah para isteri Rasulullah semuanya kecil seperti sebuah bilik.
[14] Sahih: Ringkasan hadis daripada Anas bin Malik radhiallahu ‘anh, lihat Shahih al-Bukhari – no: 4793 (Kitab tafsir, Bab tafsir ayat 53 surah al-Ahzab).
[15] al-‘Uqaili – al-Dhu‘afa’ al-Kabir – biografi no: 1392; Ibn Hajar al-‘Asqalani – Thabaqat al-Mudallisin – biografi no: 122 dan Syu‘aib al-Arna’uth (الأرنؤوط) & Basyar ‘Awwad Ma’ruf – Tahrir Taqrib al-Tahzib, biografi no: 4616.
Tadlis bermaksud menyembunyikan nama perawi sebenar yang diambil hadis daripadanya. Ini dilakukan atas beberapa sebab, yang masyhur ialah menutup kelemahan dan kecacatan yang terdapat pada perawi yang disembunyikan itu supaya hadis yang dibawanya tidak menjadi lemah atau tertolak.

http://www.hujahsunnah.page.tl/-Jawapan-Kepada-Hujah-Syiah-_-Kema-h-suman-Imam-Oleh-Syiah-.htm?PHPSESSID=45cfb10f25db090d150125c1b424d902#